Sejarah Kabupaten Pangandaran, Peninggalan Purba dan Budaya

Pantai Pangandaran.
Pantai Pangandaran.

Pangandaran dari Masa ke Masa

Kabupaten Pangandaran merupakan wilayah selatan Jawa Barat yang terkenal dengan objek wisata pantai. Selain itu Pangandaran sudah ada sejak masa Prasejarah.

Kawasan pantai Pangandaran menjadi objek wisata sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan wilayah ini masih bernama daratan Pananjung.

Pangandaran berdiri sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) pada 25 Oktober 2012. Sementara saat ini sudah 2 periode bupati yang menjabat (2023).

Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata menjadi pejabat bupati pertama secara definitif dan terpilih 2 kali dalam Pilkada 2016 dan 2020.

Dailypangandaran akan mengulas sejarah Kabupaten Pangandaran masa Prasejarah.  Melansir dari ‘Buku Pangandaran Dari Masa Ke Masa’ karya Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S (2016).

Baca Juga: Pesona Pantai Karapyak Pangandaran, Harga Tiket dan Rute

Masa Prasejarah

Perkiraan pada zaman Kuarter, lebih tepatnya pada kala Plestosen (t 1,8 juta tahun yang lalu), sebagian besar pulau yang terletak di bagian Barat Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Jawa bersatu dengan Daratan Asia.

Sementara itu, pulau-pulau yang berada di bagian Timur Indonesia bersatu dengan Daratan Australia.

Daratan yang menghubungkan Indonesia bagian Barat dengan Daratan Asia saat itu orang mengenalnya Paparan Sunda (Sunda Shelf). Selanjutnya daratan yang menghubungkan bagian Timur Indonesia dengan Australia namanya Paparan Sahul (Sahul Shelf).

Penyatuan wilayah tersebut dengan wilayah Daratan Asia terjadi karena penurunan permukaan air laut sebagai akibat dari pengumpulan air di kutub menjadi es (glasiasi), terutama di daerah yang bergaris lintang tinggi.

Pada waktu glasiasi surut, permukaan laut menjadi lebih tinggi dan daratan-daratan yang tadinya menyatu, kemudian terpisah kembali.

Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap Kepulauan Indonesia, khususnya Laut Jawa yang seperti juga Laut Cina Selatan sebagian menjadi surut sehingga mengakibatkan terbentuknya jembatan daratan yang luas di atas Paparan Sunda.

Bersatunya Wilayah Indonesia

Bersatunya sebagian daerah Indonesia bagian Barat karena terbentuknya jembatan daratan itu kemudian menjadi jalur migrasi fauna dan manusia pada masa prasejarah dari Daratan Asia ke wilayah Indonesia.

Dalam pada itu, kawasan Tatar Sunda memiliki peran yang sangat penting.

Hasil penelitian geologi menunjukkan bahwa proses pembentukan Pulau Jawa berawal dari terbentuknya jalur Pegunungan Jawa Barat di sebelah Utara.

Jalur pegunungannya, yaitu zona Bogor di sekitar zaman Oligo Miosen kurang lebih 26 juta tahun yang lalu.

Setelah itu dengan pembentukan gunung-gunung berapi, bukit-bukit, dan dataran tinggi lainnya di Tatar Sunda yang berlangsung terus hingga zaman Plestosen.

Pengangkatan Pulau Jawa mulai dari bagian Barat ke Timur, yaitu jalur pegunungan yang termasuk dalam zona Bogor, Pegunungan Serayu Utara, dan Pegunungan Kendeng.

Oleh karena itu, ada anggapan bahwa Tatar Sunda merupakan kawasan yang berusia lebih tua karena lebih dulu mengalami pengangkatan dari permukaan air laut daripada Pulau Jawa bagian tengah dan Timur.

Pada zaman es tersebut di perkirakan terjadi migrasi manusia dan fauna dari Daratan Asia ke kawasan Nusantara (Indonesia).

Berdasarkan hasil penelitian, migrasi itu di dahului oleh perpindahan fauna yang kemudian berlanjut oleh manusia dan perkiraan terjadi pada zaman Plestosen (t 1,8 juta tahun yang lalu).

Baca Juga: Pesona Puncak Manci, Rekomendasi Camping di Pangandaran

Bukti-Bukti Proses Migrasi wilayah Priangan Timur

Bukti-bukti adanya proses migrasi awal oleh fauna dari Daratan Asia ke wilayah Indonesia pada masa lalu itu, antara lain terdapat di Ciamis, yaitu adanya fosil mastodon bumiayuensis (spesies gajah) dan rhinoceros sondaicus (spesies badak) di daerah Rancah, sebelah Timur Ciamis.

Fosil-fosil tersebut berumur lebih muda bila daripada dengan fosil-fosil yang terdapat dalam kelompok fauna Siwalik di India.

Selain itu, telah ditemukan tapak-tapak hunian dari periode awal setelah terjadi migrasi dari Daratan Asia ke Pulau Jawa pada masa Plestosen.

Adapaun penemuannya antara lain fosil vertebrata dari fauna Cijulang dan alat paleolitik yang merupakan bagian dari salah satu bentuk produk budaya prasejarah yang paling tua.

Penemuan Benda Purba di Priangan Timur

Pada 1999, dalam sebuah penggalian di pinggir Sungai Cisanca yang terletak di Desa Kaso, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Di lokasi itu telah ditemukan sepotong gigi seri dari manusia purba.

Gigi seri ini berada pada penggalian sedalam kurang lebih 7 meter. Pememuanya pada lapisan batu pasir konglomeratan dan sedikit lempungan berwarna biru. Temuan lain dalam penggalian ini adalah fragmen kecil artefak obsidian.

Analisis palinologi (serbuk sari bunga) oleh Dr. A. A. Poulhoupessy di Laboratorium Geologi Kuarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Hasil Penemuan ini menemukan lapisan pengandung gigi manusia purba itu menunjukkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah berupa backmangrove (belakang hutan bakau), yaitu dengan hadirnya polen acrostichum, sonneratia caseolaris, dan dinocysts.

Lingkungan pengendapan ini terletak tidak begitu jauh dari tepi pantai. Temuan ini sangat penting untuk menjelaskan proses penghunian manusia purba di Pulau Jawa.

Eksistensi Manusia Purba wilayah di Ciamis

Eksistensi manusia purba di kawasan Ciamis dan sekitarnya diperkuat dengan adanya beberapa alat batu yang bercorak paleolitik, antara lain di kawasan Tambaksari.

Di tempat tersebut, telah ada beberapa buah alat batu yang tidak in situ, di antaranya di aliran Sungai Cipasang dan Cisanca.

Alat-alat tersebut terbuat dari bahan batu andesit, memperlihatkan bentuk yang masih sangat sederhana, dengan sedikit pemangkasan untuk memperoleh tajaman.

Alat-alat batu tersebut secara tipologis termasuk ke dalam kelompok kapak perimbas (chopper) dan kapak penetak (chopping tool). Temuan ini berada di sekitar tempat ditemukannya fosil kuda nil (hyppopotamussp.).

Pada masa ini diperkirakan manusia purba hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan.

Selanjutnya, manusia purba mulai hidup di gua-gua alam atau gua-gua payung walaupun tidak menetap.

Untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masih sangat bergantung pada ketersediaan alam lingkungan.

Gua-gua yang berpenghuni sebagai tempat air dan lahan perburuan mereka, seperti di tepi danau tinggal umumnya terletak tidak jauh dari sumber air atau aliran sungai yang memiliki sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.

Menemukan Seni dan Budaya Masa Pra Sejarah di Priangan Timur

Selama mereka bertempat tinggal di gua-gua alam tersebut, perkiraan bahwa pada masa itulah mereka mulai berpikir tentang seni dan ritual tertentu yang kemudian lahirlah dalam bentuk coret, coretan di dinding batu dan dinding gua.

Coretan-coretan di dinding batu tersebut di antaranya ada yang dibuat dengan cara goresan dan ada pula yang lukiskan dengan menggunakan bahan berwarna.

Pada tahap awal, corak lukisan masih berbentuk sederhana berupa coretan atau goresan garis-garis lurus vertikal dan horisontal, lingkaran, segiempat, atau bentuk-bentuk benda tertentu yang mungkin merupakan lambang tertentu yang memiliki makna khusus pada masa itu.

Dalam perkembangan lebih lanjut penampakan lukisan semakin bersifat natural sehingga wujud hewan, benda, dan manusia dapat terlihat lebih jelas.

Menemukan Lukisan

Lukisan dan goresan di dinding batu itu menurut pengamatan para ahli menampilkan beberapa bentuk peragaan, seperti adegan perburuan hewan dengan bentuk mata panah di dekat pundak binatang buruan, adegan menangkap ikan dengan gambar manusia di atas perahu, dan tombak.

Tinggalan arkeologis yang mewakili masa ini terdapat di Situs Citapen, Ciamis, yang oleh masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan batu tulis.

Di situs tersebut ada sejumlah goresan di dinding batu yang terletak lebih kurang 100 meter dari dasar tebing. Bidang goresan yang tampak saat sekarang berukuran 4 x 1,5 meter.

Secara keseluruhan goresan-goresan tersebut dengan kedalaman antara 1 cm, dengan lebar goresan antara 2-5 mm. Goresan-goresan itu dapat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas beberapa garis vertikal yang tampak merupakan sebuah kumpulan garis-garis yang terdiri dari 3 garis, 5 garis, dan 7 garis.

Di bagian atas dari kumpulan garis-garis vertikal itu terdapat sebuah goresan yang menyerupai bentuk binatang melata.

Penggambaran bentuk binatang melata itu bertanda dengan bentuk bulatan di bagian atas seolah menggambarkan bentuk badan, dan sebuah goresan garis memanjang yang menunjukkan bentuk bagian ekor.

Goresan kelompok kedua terdiri atas kumpulan garis-garis vertikal yang umumnya lima garis. Di bagian atas dan bawah goresan vertikal terdapat goresan garis lengkung. Secara sepintas goresan itu seolah memperlihatkan bentuk telapak tangan.

Pada sudut kanan atas kelompok itu terdapat goresan yang menggambarkan bentuk daun serta goresangoresan yang tidak beraturan.

Situs Citapen dapat terbilang sebagai salah satu penemuan mirip budaya gua yang cukup tua di daerah Tatar Sunda. N.J. Krom menggolongkan situs itu pada peninggalan Polynesia, bahkan tanpa keraguan sebagai hasil dari penduduk lama.

Di Situs Tambaksaari, Ciamis, ada pula benda-benda arkeologis zaman batu muda (neolitik). Perkiraan penemuanya berasal dari masa bercocok tanam, yaitu beliung persegi, gelang batu, alat gurdi, dan batu pengasah. Semuanya terbuat dari batuan jenis tufa kersikan.

Masa Bercocok Tanam

Pada masa bercocok tanam itu, manusia purba mulai hidup menetap dan berkelompok, dengan memelihara hewan dan tumbuhan untuk bahan makanan.

Manusia purba sudah mulai membuka ladang sederhana dengan cara menebang dan membakar hutan-hutan belukar.

Tempat tinggal mereka biasanya di tempat-tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit kecil. Selain itu mereka pasti berada di sekeliling sungai atau jurang.

Lokasi tinggak mereka strategi karena untuk mempertahankan diri dari serangan musuh atau binatang buas.

Kemajuan yang dapat dicatat yang terjadi pada masa bercocok tanam, antara lain munculnya teknologi penyimpanan bahan makanan. Saat ini pengamat budaya menyebutnya tradisi gerabah.

Pada zaman itu juga muncul kepercaayaan pada kekuatn di luar naral, yaiti animisme dan dinamisme.

Kepercayaan yang demikian akhirnya memunculkan  rasa hormat terhadap orang-orang yang berjasa seperti pahlawan pendirian monumen batu. Kemudian menjadi lambang penghormatan dan media pemujaan atau sebagai megalitik dan tradisinya.

Budaya megalitik yang masuk ke Indonesia, terutama ke Tatar Sunda, ada melalui dua gelombang besar. Pada Gelombang pertama perkiraan terjadi sekitar 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi.

Gelombang pertama terbumti dengan adanya pendirian monumen-monumen batu seperti menhir, undak batu, patung-patung simbolis monumental.

Gelombang kedua sebagai megalitik muda yang perkiraan masuk ke Indonesia sekitar awal abad pertama sebelum Masehi.

Monumen-monumen batu yang mewakili kelompok tinggalan megalitik muda, antara lain berupa monumen kubur peti batu, dolmen semu, dan sarkofagus.

Di wilayah Ciamis dan sekitarnya terdapat beberapa lokasi tinggalan tradisi budaya megalitik. Bahkan hingga saat ini ramai dikunjungi wisatawan, lokasi itu bernama Karangkamulyan.

Bentuk-bentuk tinggalan tradisi megalitik di lokasi itu bernama nama yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh Pakuan.

Selain itu, beberapa di antaranya pada masa yang kemudian mendapat pengaruh Hindu terutama Hindu Siwa sehingga menjadi peninggalan budaya Hindu.